Inikah rasanya cinta
Penulis : Ana Merya
Inikah rasanya cinta |
Guys, akhirnya cerpen Inikah rasanya cinta ketemu juga sama yang namanya ending. Nggak sabarkan pengen tau gimana akhir dari kisah cinta antara Irma dan Rey yang katanya sempet salah paham gitu. Nah kalau jawabanya itu, bisa langsung baca kebawah aja deh.
Sekedar saran biar nyambung sama jalan ceritanya admin sengaja nyediain link untuk part sebelumnya disini.
Sejam telah berlalu, Irma hanya mampu menatap nanar pada layar di hadapannya yang masih menampilkan spasi kosong. Sedari tadi ia hanya menulis dan menghapus kata yang di ketik. Sama sekali tak ada ide. Buntu. Sampai kemudian gadis itu memutuskan untuk langsung mematikan notebooknya baru kemudian merebahkan tubuhnya di ranjang.
Mencoba memejamkan mata, Irma kembali bangkit duduk. Dihelanya nafas lelah untuk kesekian kali. Merasa bingung akan dirinya sendiri. Beberapa waktu ini pikirannya memang sedikit kusut.
Sudah hampir seminggu sejak kejadian Rey memergoki pembicaraannya dengan teman - temannya. Sejak saat itu juga, hubungannya dengan pria itu menjauh. Walau sebelumnya tidak bisa di sebut akrab juga. Hanya saja, kali ini Rey kembali seperti sejak pertama kali ia bertemu. Diam, tanpa kata.
Irma bukannya tidak mencoba untuk berbicara pada pria itu. Bahkan tadi siang ia nekat menemuinya ke bawah pohon jambu ketika di lihatnya pria itu duduk diam di situ dengan buku yang menutupi wajah seperti biasanya. Tapi saat ia panggil, sama sekali tak ada respon. Setelah ia berbicara panjang lebar, juga tidak ada hasilnya. Entah ia benar - benar tidur, atau memang tidak ingin berbicara padanya. Irma sama sekali tak punya ide untuk itu.
Merasa jengah dengan dirinya sendiri, gadis itu kembali menyalakan notebooknya. Tangannya mulai bergerak untuk mengetikan kata. Tapi lagi - lagi, buntu.
"Irma, kenapa loe nggak ngaku aja sih sama Rey kalau loe itu sebenernya suka sama dia?"
Ucapan Ana tadi siang kembali terniang di kepala Irma. Membuat gadis itu kembali berpikir. Bukannya apa, Irma masih ragu. Bukan saja ragu karena Rey mungkin tidak menyukainya, tapi ia juga ragu apa ia benar - benar suka pada pria itu. Sejak awal sudah pernah ia katakan bukan? Ia belum pernah jatuh cinta. Kalau sekedar naksir orang, yah itu kan lain ceritanya.
Tanpa mematikan notebooknya, Irma kembali merebahkan diri. Angannya kembali melayang entah kemana. Membayangkan sekiranya Ana benar. Ia menyukai Rey. Terus gimana kelanjutannya? Bagaimana kalau ternyata Rey benar - benar tidak menyukainya. Bagaimana kalau ternyata selama ini hanya ia yang ke Ge-eran. Akh entah lah. Kalau di pikir - pikir lagi. Ternyata yang namanya cinta itu tidak seindah yang di bayangkannya? Tidak semanis cerita yang mengisi koleksi novelnya. Tidak seperti kisah di komik yang happy efer after. Apalagi mempesona seperti drama tontonannya. Ternyata yang namanya cinta itu nyakitin. Bikin nyesek. Membuat dia terlihat seperti orang bodoh, orang yang lemah. Seandainya sejak awal ia tau akan seperti ini, ia tidak akan jatuh cinta. Nggak akan pernah.
Merasa marah pada dirinya sendiri, Irma bangkit berdiri. Ditinggalkannya notebooknya dalam keadaan menyala begitu saja. Setelah terlebih dahulu menyambar handphond di meja, gadis itu melangkah keluar kamar. Sepertinya ia butuh udara segar.
Tak tau kemana kakinya melangkah, tau tau Irma sudah sampai di danau. Duduk diam dipinggiran sembari memainkan riaknya air dengan kakiknya yang mengantung kedalam. Gadis itu baru menyadari, danau ini adalah danau yang sama. Satu - satunya tempat di mana Rey dulu pernah mengajaknya mampir sepulang sekolah. Hanya sekali. Itu juga dengan alasan klise, menemani makan rujak. Dan setelah itu mereka pulang. Sama sekali tidak ada yang spesial. Tapi kini tetap, diantara semua tempat, kenapa ia malah dengan bodohnya menjadikan tempat itu sebagai tujuannya?
"Irma?"
Samar, Irma menyadari ada yang memanggil namanya. Bahkan sepertinya ia mengenali suara dan nada itu. Suara yang selama seminggu kebelakang sama sekali tidak pernah di dengarnya lagi. Tidak disekolah, apalagi disini. Membuat gadis itu hanya mampu memejamkan mata. Gagal menjadi sumber infpirasi, apa kini Rey akan menjelma dalam dunia khayal.
"Loe ngapain disini?"
Oke, ini terlalu berlebihan jika di sebut khayalan. Irma membuka matanya dan menoleh, gadis itu hanya bisa terpaku tak percaya ketika melihat Rey berdiri tepat di hadapanya.
"Rey?"
Hanya satu kata itu yang mampu melewati tenggorokannya. Irma hanya mampu merutuki dirinya sendiri. Apa jangan - jangan lemot yang di deritanya sudah benar - benar akut?
"Loe ngapain disini?" Rey mengulangi ucapannya. Kali ini sambil duduk disampingnya. Persis.
Irma hanya mengeleng tidak tau. Karena kenyataanya ia memang tidak tau kenapa ia bisa ada disitu.
Rey pun tidak bertanya lagi, pria itu hanya menatap lurus kedepan. Kearah air yang memancarkan sinar keemasan. Efek dari sinar mentari sore. Untuk beberapa saat suasana hening. Masing - masing tengelam dalam pikirannya sendiri.
"Jadi loe suka nulis?" setelah sekian lama terdiam, akhirnya Rey kembali buka bicara.
Tidak tau apakah Rey melihatnya atau tidak, Irma hanya membalas dengan anggukan sembari menunduk. Sama sekali tidak berani menoleh.
"Dan loe jadiin gue sebagai sumber inspirasinya?" tanya Rey lagi. Lagi - lagi Irma hanya mengangguk.
"Cuma itu?" Kali ini Irma menoleh. Menatap lurus kearah Rey yang ternyata sedang menatapnya. "Jadi gue cuma sekedar sumber inspirasi?" sambung pria itu menegaskan.
Irma membalas tatapan Rey tanpa berkedip. Dari nadanya Irma menyadari kalau pria itu terlihat kecewa. Tapi terus terang, saat ini ia juga sama. 'Cuma'? Jadi menurut Rey, menjadi inspirasi seseorang itu hanya sekedar 'Cuma'? Irma sangat yakin. Ia berani bertaruh kalau pria yang kini ada di hadapannya sama sekali tidak tau dunia tulis menulis.
'Bisa menjadi sumber inspirasi seseorang, itu bukan sekedar 'cuma'. Sehebat apapun orang itu, ia tidak akan bisa menjadi sumber inspirasi bagi orang lain sekiranya ia tidak berarti untuknya. Seseorang bisa menjadi sumber inspirasi itu karena ia berharga. Karena ia bisa menarik perhatian. Karena ia selalu bermain dalam pikiran. Karena itulah, begitu banyak fanfic - fanfic yang bertebaran di dunia maya yang mengambil tokoh utama para idolanya. Karena selama ia menulis, ia selalu membayangkan sosok tersebut dalam dunia khayalnya. Dan itu bukan sekedar 'cuma'.
"Jadi loe jadiin gue inspirasi karena loe selalu mikirin gue?"
Mendengar kalimat tanya yang terlontar dari mulut Rey barusan segera menyadarkan Irma. Ternyata tidak hanya mengucapkan dalam hati tapi baru saja ia telah melontarkan pendapatnya dengan suara lantang.
"Kenapa?" tanya Rey lagi.
Irma mengalihkan tatapannya. Sambil menatap keair danau, gadis itu mengeleng. Ia tidak tau. Benar - benar tidak tau. Atau sekiranya boleh ia minjem kalimatnya Ana, 'mungkin ia sedang jatuh cinta'?
"Apa karena loe jatuh cinta sama gue?"
Irma tidak menjawab. Gadis itu hanya menunduk dalam.
"Tolong lihat gue, Irma Octa Swifties," kata Rey. Bagai di komando, Irma manut. Gadis itu menatap kearah Rey yang juga sedang menatapnya.
"Kenapa loe bisa suka sama gue?" tanya Rey lirih, namun penuh penghayatan.
Irma tidak langsung menjawab. Pikirannya blank. Ia bahkan tak mampu mengalihkan tatapannya karena kini telah terkunci oleh bola mata Rey yang tajam menatap tepat pada manik matanya.
"Seandainya gue bilang, gue nggak punya alasan, loe percaya? Kalau gue bilang sejak awal gue sama sekali nggak tau kenapa gue bisa suka sama loe, apa loe akan menganggap kalau gue bohong?" bukannya menjawab, Irma justru malah balik bertanya.
Tak ada reaksi dari Rey, membuat Irma akhirnya menundukan wajah, lemes.
Lama Rey terdiam. Baru kemudian secara berlahan tangannya terulur menyentuh wajah mulus gadis di hadapannya. Memaksa gadis itu untuk kembali menatap dirinya.
"Gue juga suka sama loe tanpa alasan. Itulah kenapa gue nggak bisa mengungkapkannya selama ini. Karena gue tau, Loe nggak pernah benar - benar jatuh cinta. Karena gue takut, kalau sekiranya nanti loe bertanya dan gue nggak bisa menjawabnya, loe akan mengangkap kalau cinta itu tidak ada. "
Mulut Irma sudah terbuka untuk membalas, tapi tidak ada kata yang keluar. Lidahnya terasa kelu.
"Gue sayang sama loe. Bener - bener gue sayang sama loe. Loe mau kan jadi pacar gue?"
Seumur hidupnya, ini untuk yang pertama. Kalau selama ini ia hanya mendengar kisah dari koleksi bacaannya, kali ini Irma benar - benar merasakannya. Dan itu sesuatu yang tidak bisa ia utarakan. Ia merasa ada jutaan kupu - kupu terbang dalam perutnya. Dadanya terasa sesak tapi di saat yang sama juga bahagia. Tanpa sadar kepalanya mengangguk. Membuat Rey tersenyum. Senyum yang menular. Karena kini ia juga ikut tersenyum.
Dan itulah cinta. Yang tidak membutuhkan alasan. Karena jika alasan itu hilang, maka cinta juga akan pergi.
Bagaimana sahabat mococerpen, ceritanya romantis kan,,heheee, certia diatas hanya fiktif belaka, semoga terhibur ya dalam membacanya. terima kasih telah membaca artikel ini para sahabat mococerpen.
--------------------*****--------------------
Jangan Lupa sukai fanspage Facebook Moco Cerpen dan follow twitter @MC_MocoCerpen ya Sahabat.