Cerpen Percintaan Sedih : Katakanlah Cinta

No Comments

Katakanlah Cinta


Katakanlah Cinta
Katakanlah Cinta

Takdir adalah sebuah ketentuan yang tidak bisa kita ubah jika takdir tersebut berhubungan dengan jodoh. Tuhan membagi takdir menjadi dua bagian yaitu takdir yang bisa diubah dan yang tidak bisa diubah oleh manusia. Salah satu takdir yang masih bisa dan boleh diubah oleh manusia itu sendiri adalah Rezeki dan kepintaran, sedangkan yang tidak bisa diubah contohnya adalah Jodoh, kematian serta fisik. Dan kita sebagai manusia yang memiliki keimanan harus mempercayai dan meyakini adanya takdir tersebut.

Seperti kisah yang sahabat mococerpen tulisankan dalam postingan kali ini, yang sedikit menyinggung takidir dalam kehidupan percintaan anak muda. Selamat membaca ya sahabat mococerpen, semoga terhibur.

 *****

Aku percaya bahwa pertemuan dan perpisahan adalah bagian dari takdir. Seperti yang sering kita dengar dalam beberapa kesempatan, ada yang bilang “ada pertemuan pasti perpisahan” walaupun istilah tersebut tidak sepenuhnya benar. Tak ubahnya kebahagiaan yang senantiasa datang menghampirimu saat kau bersama orang – orang yang sangat engaku sayangi dan cintai. Tetepi saat takdir itu datang menemuiku dan membuatku menangis, jatuh, dan terpuruk, dalam sekilas pikiran ku terkadang aku tidak ingin mempercayainya, aku ingin mempercayainya bahwa kejadian tersebut hanyalah suatu kebetulan semata. Tapi nyatanya didunia ini tidak ada istilah kebetulan, hanyalah takdir yang ada.

Terlihat dari balik jendela kelasku, warna semburat langit yang cerah berwarna orange. Yang menandakan bahwa waktu telah sore. Warna langit tersebut sangat indah, tapi aku tidak begitu suka karena menurutku warnanya membuat hatiku menjadi sendu dan sedih. Aku berjalan dari ruang kelasku melewati bebarapa koridor untuk menuju ke halaman depan sekolahanku. Tak begitu aku perhatikan jalan kulewati maupun orang-orang disekitarku yang berhamburan keluar dari ruang kelas untuk segera pulang kerumah masing-masing, setelah kegiatan ekstrakurikuler yang sangat melelahkan yang membuat kami pulang sampai sore hari.

Secara tidak sengaja, tiba-tiba aku merasakan diriku menabrak sesuatu, bukan tembok karena kurasakan ada sebuah tangan yang menahan pinggangku hingga aku terjatuh ketanah. Lalu tangan itu membantuku untuk membenarkan posisiku hingga aku bisa berdiri dengan normal lagi.

  • “Nadia?” sosok familiar tepat didepanku memberiku ekspresi dengan penuh tanya, suaranya begitu lembut dan perhatian.
  • “Ah, Aldi....” nadaku lemah, mungkin ekspresiku sangat buruk sekarang.
  • “Kamu mau pulan ?” seakan membaca pikiranku, ia tau bahwa aku tak ingin membicarakan tentang hal yang akhir-akhir ini sering ditanyakan orang-orang kepadaku, tentang putusnya hubunganku dengan Ivan.
  • “Iya, mungkin aku pulang dengan jalan kaki. Aku tidak membawa mobil hari ini”
  • “Tapi aku lagi pengen jalan kaki.:
  • “Aku temani” jawab Aldi dengan nada mengharap.
  • “Terus bagaimana dengan mobilmu?”
  • “Nanti aku telfon orang buat ngambil mobilnya “ia menatapku dengan lekat-lekat”.
  • “Iya”
  • “Oke”

Setelah percakapan tadi, lalu kami berjalan bersama. Diam, namun bukan diam yang begitu kikuk. Melainkan diam yang seakan-akan memanggil kembali memori di masa kecil yang pernah kami alami berdua, saat kami berdua pulang sekolah selalu bersama, terkadang kami sering main hingga pulang putang, lalu ia dimarahi oleh ibuku, tapi herannya ia selalu tertawa setelah dimarahi tidak ada rasa menyesal dan takut telah mengajakku bermain hingga petang. Dan lebih herannya lagi, ibuku pun selalu mengijinkanku bermain bersamanya setiap hari.

Dulu kami berdua selalu bersama, barmain, sekolah, belajar dirumah, hampir setiap waktu kami selalu bersama. Masih tersimpan jelas di ingatanku saat-saat ia selalu mengajakku, ia tidak hanya sekedar mengajakku pergi main saja, melaikan ia selalu melindungiku dari sekelompok anak-anak nakal yang sering mengganggu kami berdua, terkadang mereka ingin merebut lolipopku. Tanpa rasa takut sedikitpun, ia menyuruh mereka semua untuk tidak menggangguku, ia sangat berani, walaupun dia tau jumlah mereka lebih banyak. Mereka memang tidak jadi merebut lolipopku, namun sebagai gantinya mereka mengajak Aldi untuk berkelahi. Jelas saat itu Aldi hampir tidak bisa berbuat apa untuk melawan mereka, karena mereka kroyokan dalam jumlah yang lebih banyak. Mereka mendorong Aldi hingga menabrak tubuhku dan menjatuhkan lolipop yang sedang aku pegang, lalu aku menangis dengan keras sehingga merebut perhatian orang banyak dan akhirnya anak-anak nakal tersebut pergi meninggalkan kami. Lalu Aldi menghampiriku, sambil berkata “Maaf ya,Nadia. Lolipopmu terjatuh. Nanti beli lagi ya? Jangan menangis.”

Setelah beberapa saat aku mengingat memori yang pernah kami alami dulu. Secara spontan aku menghentikan langkah kakiku saat kami tiba di sebuah taman yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga sangat indah. Tempat ini belum berubah, tempat dimana kami dulu sering bermain bersama menghabisakan waktu sepulang sekolah di saat kami duduk di bangku SD. Kupandangi hamparan rumput hijau dan warna-warni bunga yang terlihat lebih indah saat terkena cahaya sinar matahari yang hampir terbenam.

  • “Nadia?” Aldi menghentikan langkahnya, lalu berjalan menghampiriku dan berhenti tepat di depan hadapanku.
  • “Kamu inget ngga, dulu kita sering main kesini?” aku tersenyum lemah, mengingat masa kecil kami. Ia mengangguk.
  • “Kamu ngga apa-apa kan?” raut wajahnya sama seperti biasa, raut wajah yang selalu mengkhawatirkanku “Nadia?”
  • “Ivan“ kurasakan kedua mataku panas, pandanganku kabur, dan baru sadar bahwa aku sedang menangis saat kurasakan air mataku jatuh, membasahi pipiku. “Aku putus sama dia...”
  • Ia menyodorkan sapu tangan padaku, lalu diusapnya pipiku menggunakan sapu tangannya. “Aku tau...” jawabnya.
  • “Aku tau, papanya ngga pernah setuju sama hubungan kami. Tapi, dia ngga pernah sekalipun nyoba buat ngeyakinin papanya, ngga pernah sekalipun ngijinin aku buat ngambil hati papanya biar dia bisa nyetujuin hubungan kami.” Air mataku mengalir deras tak terkendali “Akhirnya... Akhirnya dia lebih miilih buat ninggalin aku. Padahal, kami sama sekali belum pernah nyoba buat ngeyakinin papanya, belum pernah sekalipun...” setelah ia membiarkanku menangis untuk beberapa saat, akhirnya ia mulai bicara...
  • “Nadia.... Aku senang kamu putus sama Ivan.” Mataku terbelalak, nafasku tertahan untuk sesaat, kupandangi ia dengan tatapan tak percaya.
  • “Aldi??” kusipitkan mataku, menuntut jawaban.
  • “Aku senang kamu putus ama dia. Tapi, aku ngga bisa liat kamu sedih, nangis.” Aku bingung, apa yang sedang ia bicarakan?’“Apa kamu inget? Dulu, waktu kita kecil, kamu sering banget nangis. Tapi kamu langsung diem kalo aku kasih lolipop.” Ia tertawa kecil, lalu tersenyum dan memandangku lembut.
  • “Iya...” aku pun tersenyum, mengingat kembali memori tersebut dan mengabaikan kebingunganku “Aku juga inget, dulu aku pernah jatuh pas kita main kejar-kejaran. Lututku berdarah, trus nangis.” lalu Aldi di masa kecil menghampiriku dengan ekspresi penuh kekhawatiran “Nadia? Sakit ya? Jangan nangis...’ aku yang cengeng, bukannya diam malah menangis semakin keras. Lalu ia menawarkanku untuk naik ke punggungnya ‘Ayo, aku gendong kamu pulang.’ Dan ia benar-benar menggendongku ke rumah, namun berhenti di jalan untuk membelikanku lolipop, dan aku menikmati lolipopku sembari digendong olehnya, melupakan rasa sakit di lututku.
  • “Tapi kamu udah jarang nangis sejak masuk SMA. Sejak kamu kenal Ivan, sejak kamu mulai jauh dari aku, sejak kita ngga pernah main berdua lagi.”
  • “Aldi...”
  • “Aku ngga tau, aku harus seneng ngeliat kamu bahagia, atau harus sedih kita ngga bisa main bareng kaya dulu lagi.” Ia tersenyum sedih “yang aku tau, aku ngga suka liat kamu nangis. Aku rela ngapain aja, mbeliin kamu lolipop sebanyak mungkin, atau apapun, asalkan kamu ngga nangis.”
  • “Kenapa?”
  • “Karena, kalo kamu sedih, aku juga sedih.” Ia menempelkan telapak tangan kanannya pada dada kirinya “Di sini, jadi sakit.” Lalu diraihnya kedua tanganku, dan ditatapnya mataku lekat-lekat “Aku ngga mau kamu sedih, Nadia...” Ia tetap sama dengan Aldi yang dulu, Aldi yang aku kenal sejak kami berumur 6 tahun, Aldi yang selalu mengkhawatirkanku, menjagaku, dan mengatakan ‘jangan nangis, Nadia’ atau ‘aku beliin kamu lolipop, ya?’ untuk membuatku berhenti menangis. Lalu aku sadar, kalau selama ini aku melakukan kesalahan, kesalahan yang tak termaafkan. Karena aku telah mengabaikannya selama dua setengah tahun terakhir, walaupun aku tak berniat demikian. Aku hanya terlalu sibuk dengan cinta pertamaku, Ivan. Dan lambat laun aku semakin jauh dari Aldi, frekuensi pertemuan kami berkurang, dan akhirnya benar-benar tak saling bicara. Benar-benar mengabaikannya, seseorang yang selalu ada di sampingku, yang selalu mengkhawatirkanku, yang selalu menjagaku, seseorang yang ternyata sangat kubutuhkan. Seseorang yang ternyata punya tempat di hatiku, bahkan menempati posisi yang lebih penting dari Ivan, pacar pertamaku.
  • “Bego...” tangisku semakin keras
  • “Eh???” kali ini dia benar-benar kebingungan. Kulepaskan kedua tanganku yang ia genggam untuk menutup wajahku dan menangis sejadi-jadinya
  • “Kamu bego, Aldi!!!”
  • “Hah?” kedua alisnya tertaut
  • “Kenapa ngga bilang kalo kamu suka sama aku???” kutoyor kepalanya dengan tangan kananku, lalu aku tertawa, sambil menangis.
  • “Aku...” ia mengusap dahinya, kedua matanya memandangi tanah di bawah kami. Pipinya memerah.
  • “Hahahahaaa”
  • “Apa?” ia memandangiku lagi, pipinya masih merah.
  • “Ekspresimu sekarang persis cewek-cewek pemalu yang ada di komik waktu ketemu cowok yang disukai.” Kuseka air mataku, entah air mata kesedihan yang tadi, atau air mata akibat aku menertawainya.
  • “Aku suka kamu” kali ini pipinya sudah tidak lagi memerah, ia memandangku lekat-lekat lagi. Aku berhenti tertawa, lalu tersenyum, kupandangi kedua matanya, lalu aku menghambur ke pelukkannya, dan kembali menangis.
  • “Bego!!!”
  • “Lho?” meskipun bingung, namun ia balas memelukku, kemudian tersenyum, dan aku tau aku tidak perlu menjawab pernyataan suka darinya, aku tau ia akan selalu ada di sisiku (kali ini di pelukkanku), menjagaku seperti biasa, melindungiku, menghiburku agar tidak menangis..... 
  • “Kamu mau lolipop?” kujawab pertanyaannya dengan senyuman, dan kugandeng tangannya, lalu kami berjalan pulang. (kami mampir ke toko lolipop di perjalanan pulang).
Seperti itulah jodoh, merupakan takdir yang tidak bisa kita prediksi, seperti cerita diatas dimana seseorang yang telah menjadi memori atau kenangan masa lalu, tapi bisa kembali hadir di kehidupan masa depan, dan sebaliknya yang sering kita anggap dan sering kita memastikan bahwa seseorang yang sedang menjalin hubungan dengan kita saat ini adalah jodoh masa depan kita tapi ternyata bukan.

Bagaimana sahabat mococerpen cerita diatas yang berjudul Katakan Cinta, semoga cerita diatas bisa dijadikan hiburan untuk menemani waktu luang sahabat serta bisa mendapatkan pelajaran bermanfaat. Sahabat boleh share kok kalau suka.



--------------------*****--------------------







Jangan lupa sukai fanspage Facebook Moco Cerpen dan follow twitter @MC_MocoCerpen ya Sahabat.

Bagikan Artikel :